hover animation preload

Cinta dalam diam
by Silvi SM in



            Seperti hari-hari biasanya, aku dan dia bertemu dan bersama dalam satu ruang kelas bersama 38 manusia lainnya. sekalipun begitu, aku dan dia tak pernah bercakap. Menyapa hanya sekedar untuk memenuhi norma kesopanan. Begitu normalnya pertemanan ini berjalan. Tak ada yang istimewa secara kasat mata antara aku dan dia. Tapi jauh dari yang mereka duga, ada sesuatu yang aku simpan dalam hati ini untuknya. Sebuah kekaguman yang perlahan tumbuh menjadi perasaan lain yang entah apa itu namanya. Perasaan yang semakin hari tak mampu aku kendalikan namun tak mampu juga aku tunjukan. Dan aku hanya bisa menyebut perasaan ini sebagai “rahasia”.
            Kelas masih sepi, hanya ada aku dan beberapa teman yang sibuk membuka forum gosip pagi ini. Aku memutarkan bola mata ketika teriakan-teriakan nyaring terdengar saat seorang dari mereka menyuguhkan topik yang menjadi pembuka forum gosip pagi ini. Hal semacam itu bagi mereka adalah rutinitas wajib sebelum benar-benar memulai hari. Hampir setiap hari aku menyaksikan semua ini. Dan aku hanya bisa pura-pura tak peduli.
            Aku mengalihkan perhatian pada sosok yang baru saja datang.
DIA!
Deg! Hatiku berdesir.
“Hai, selamat pagi?”
Tak ada jawaban. Dia berjalan berlalu, Ya memang pantasnya begitu! Sapaku memang tak bersuara dan hanya mampu tercipta dalam gema hatiku. Selalu saja seperti ini. Selalu. Entah sampai kapan.
“HALO TANIAAAAAAAAAAA......” Sapaan pertama pagi ini yang cukup membuat gendang telingaku berdenging. Ranti, teman sebangku muncul dan berteriak ditelingaku. Kalau saja dia bukan sahabatku, sudah habis aku jadikan sarapan pagi ini. Menyebalkan!.
“Lo kenapa sih ran? Sakit tau kuping gue.”
“Lo yang kenapa? Pagi-pagi udah bengong. Gue dari tadi ibaratnya udah gedor-gedor pintu, tapi ya memang dasar lo-nya gak denger ya udah sekalian aja gue dobrak pintu itu. Hahahaha.”
“Uuh.. dasar! Siapa juga yang ngelamun.” Ucapku yang kemudian menghasilkan perdebatan kecil yang menurutku tak penting. Ranti memang ajaib, dia takkan berhenti berbicara jika dia merasa belum menemukan jawaban yang memuaskan hatinya. Seperti sekarang, aku merasa seperti sedang diintrograsi. Tapi akupun tak kalah hebatnya dalam menyembunyikan sesuatu terutama darinya. Dia takkan mudah mendapatkan secuil ceritapun dariku. Untuk hal ini, aku memang pandai bersembunyi.
֍֍֍
            Hari ini dia hanya tersenyum padaku, ya hanya itu. Tak ada suara. Hanya lengkungan disudut bibirnya. Tapi, bagiku itu lebih dari kata cukup. Aku ‘cukup’ bahagia dibuatnya meskipun sebenarnya letupan harapan itu kembali aku rasakan secara berlebihan. “Ah, bisakah aku memiliki senyum itu selamanya?”.
            “Tania! Kamu dipanggil bu Anjani” Sebuah suara dari ambang pintu kelas membuatku kembali pada kenyataan. Dia Risma, anak kelas lain.
            “Ada apa?”
            “Gak tau, sebaiknya kamu temui beliau sekarang”
            “Oke deh. Makasih ris” Senyumku aku tunjukan padanya dan aku segera beranjak.
            Ruang guru selalu tampak ramai diwaktu istirahat seperti ini. Di sudut ruangan ada pak Aji yang sedang dikerubuni para siswanya yang menagih hasil ulangan. Di dekat jendela ada ibu Asri dengan setumpuk LKS dan kertas ulangan yang harus segera diperiksa. Di dekatnya juga ada pak Andi sedang bercengkrama ria bersama beberapa guru lain yang sepertinya sudah terbebas dari belenggu pekerjaan dan sesekali menggoda bu Asri yang nampak serius menekuni aktifitasnya. Atau beberapa lain yang dengan lahap menyantap makan siangnya. Dan masih banyak lagi hal khas yang aku saksikan. Aku sendiri masih berdiri di ambang pintu, mencoba menggambarkan semua ini dalam memoriku. Lalu sebuah suara kembali menyadarkanku.
            “Tania! Kemari nak” itu ibu Anjani. Melambaikan tangan dari balik meja kerjanya. Aku tersenyum dan segera mengampirinya.
            “Tania.. tania. Kamu ini sudah kebiasaan kalau melamun suka gak tau tempat.” Teguran ibu Anjani membuat aku tersipu, ya aku menyadarinya. aku tanpa sadar selalu mendapati diriku sedang melamun. Dimana saja. Dan itu kadang membuat sebagian orang jengkel. Dan terkadang aku juga merasakan kejengkelan itu sendiri.
            “Hehe.. maaf bu saya gak sadar.”
            Aku melihat beliau berdecak kecil sambil menggelengkan kepala.
            “Ibu memanggil saya?”
            “Oh ya ya! Ibu perlu bicara sama kamu. Ini tentang sebuah lomba yang akan diadakan di Universitas tempat ibu kuliah dulu. Ini lomba olimpiade ekonomi dan ibu menawarkan kamu untuk menjadi pesertanya.”
            “Hah? Lomba ya bu? Duuh kenapa harus saya bu?”
            “Iya itu berdasarkan beberapa pertimbangan dari ibu dan pak Idan. Guru ekonomi kelas X kamu. Saat ibu rekomendasikan kamu, beliau setuju. Ibu harap kamu mau tan.”
            “Ehm.. selain saya, siapa saja bu?”
            “Ibu baru mendapatkan dua nama untuk kelas XI nya. Rencananya kamu sama Fidi.”
            Hah? Fidi? DIA?
            Aku berpikir. Agak lama sebelum akhirnya berkata “Oh gitu ya bu. Baiklah saya mau.” Itu keputusan tercepat yang pernah aku ambil. Hanya karena mendengar aku dan dia akan bersama dalam beberapa saat, aku tak mampu mengendalikan logikaku.
            “Oke, siip. Kita akan mulai pembekalan minggu depan ya. Selagi ibu mencari peserta lain, kamu baca-baca buku saja dulu.” Ujar bu Anjani.
            Aku mengangukkan kepala dan tak lupa menyuguhkan sebuah senyuman penutup sebelum aku beranjak keluar ruangan. Perasaanku tak mampu aku kendalikan. Yang aku rasakan sekarang adalah BAHAGIA!. Bagaimana tidak, aku akan mendapatkan kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Berdiskusi dan sebagainya. Ah dunia memang tak pernah berhenti berputar.
֍֍֍
            Setelah hari itu berakhir, aku menjadi lebih bahagia. Setiap pagi aku tak hanya sekedar duduk menguping para penggosip itu. Aku mulai banyak membaca. Setiap detiknya aku maknai dengan berbagai harapan. Dia ya dia yang menjadi salahsatu sumber semangat baruku. Dia yang barusan bertanya tentang perlombaan ini dan dia yang terlihat bahagia. Entah karena apa. Tapi terselip harapan bahwa alasan bahagianya adalah diriku. Menjadi patnerku. Tapi entahlah aku tak ingin menerka terlalu jauh. Bagiku bahagianya adalah bahagia tak terhingga untukku.
֍֍֍
                Hari perlombaan itu tinggal beberapa minggu. Aku harus berusaha keras untuk menyeimbangkan pengetahuanku dengan para patnerku. Mereka semua orang-orang hebat. Aku sangat mengakuinya. Seperti sekarang, aku tenggelam dalam bacaanku di sudut ruangan ini. Duniaku seakan teralihkan kedalam deretan aksara yang sedang aku baca. Lalu sebuah tangan mendarat dipunggungku dengan begitu menyebalkannya.
            “Taaaan.. tau gak gosip terbaru hari ini??" Tanya Ranti berapi-api.
"Lo pasti udah tau deh kalau gue bukan tukang gosip!" Aku mendelik kesal karena merasa terganggu bahkan untuk hal tidak penting seperti ini.
"Ooh iya lupa, lo kan Miss NO GOSIP itu yaa. Haha. Dasar kuper lu!"
"Oh ya? Terserah lo aja. Gue sih taunya ngegosip itu dosa."
"Iya deh iya gak usah dalil gue juga kali!" Nadanya terdengar kesal. Aku pura-pura tak memperdulikannya. Tapi sepersekian detik kemudian dia kembali bersuara.
“Tapi sumpah demi apapun gue mau cerita, terserah lo mau dengerin atau enggak yang pasti ini kabar gembira ra ra raaaaaaa... Taniaaaa..” Sekarang kedua tangannya sibuk mengguncang-guncangkan bahuku. Aku mendesah pasrah lalu dengan terpaksa memposisikan diri menghadap si pencerita berisik ini.
“Oke, kalau sampe ini gak penting, gue makan lo hidup-hidup  ran!” Kataku mengancam. Ranti meringgis lalu bersiap memulai cerita.
“Lo harus tau.. Jadiiii hari ini gue, sahabat lo yang cantik ini udah resmi berganti status!!!” Katanya ceria. Aku tidak terkejut. Sedikitpun tidak. Apa yang penting dari itu?
“Heh! Lo kok diem aja sih taan..” Rengeknya. Aku segera membetulkan ekspresiku.
“Eh iya maaf, selamat ya Ranti sayaaaang.. siapa sih cowok buta yang mau diajak jadian sama lo? Haha” Kataku asal saja sebenarnya.
“Yee.. dasar sirik ya lo!! Lo pasti bakalan tau deeh, sebentar lagi dia kesini kok. Tiap hari juga nongkrong disini. Ah lo pasti tau betul siapa dia.”
“Oooh oke, jadi gimana kronologisnya?”
“Uuuh.. Kepo juga kan lo! Haha.. oke deh gue kasih tau, sebenernya dia udah lama pe-de-ka-tein gue. Gue sih lempeng-lempeng aja. Eeh tadi di kelas dia nembak gue, pake acara bawa bunga. Gue kan jadi melting. Yaudah gue terima aja.”
“Hah? Sesimpel itu?” Alisku bertaut.
“Emang gue elo, yang rempongnya minta ampun soal urusan cinta. Gak yaaaa..”
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas, lalu melanjutkan bacaanku sementara Ranti terus mengoceh disampingku. Ah ya begitulah Ranti, sahabatku yang terkadang berlaku seenaknya. Bagiku masalah hati adalah hal paling serius. Lalu tiba-tiba suara Ranti berhenti terganti suara lain yang datang.
“Mau pulang sekarang?” Suara itu bertanya. Aku mengenal suara itu. Dan aku menoleh untuk memastikan.
FIDI!
Dia mendekati ranti, dan sepertinya pertanyaan tadi untuknya. Apa maksud semua ini? Seseorang, tolong jelaskan! Rantii! Aku memandangnya seolah bertanya.
“Taraaa.. ini dia tan, Fidi! Lo pasti udah tau dooong siapa dia.”
“Hah? Jadi?”
Ranti nyengir kuda lalu mengaguk dengan   semangat. Fidi hanya tersenyum dan mulai meraih tangan Ranti, sebuah bahasa tubuh untuk segera beranjak.
“Eh! Iya iya sayang kita berangkat sekarang. Eh Tan, besok aja ya gue ceritanya hhi.”
Aku belum selesai dengan kekagetanku, tapi Ranti dan Fidi sudah beranjak pergi. Aku merasa seakan langit runtuh saat itu juga. Retak dan hancur! Bagaimana mungkin? Ini pasti hanya mimpi. Pasti!
“Plak!”
Aku menampar wajahku sendiri. Memastikan ini hanya sekedar bunga tidurku. Tapi tidak. Pipiku merespon, ini sakit. Dan rasa sakit itu meresap sampai ke hatiku. Lama aku mematung sampai akhirnya aku tersadar dan segera ambruk ke lantai. Segera saja kristal bening dipelupuk mataku merembes dan aku menangis. Ada suara retak yang begitu panjang dapat aku dengar. Retak yang berdenyut, dan retak yang menyakitkan. Dia, Fidi, dan sahabatku! “Tuhan! Ini skenario macam apa?” Aku menjerit, sejadi-jadinya –dalam hati tentunya. Langit pun menetes siang ini. Aku merasa ini seperti adegan dalam drama.
Jika Ranti yang memilikinya, aku bisa apa? Aku tak mungkin menyalahkannya. Ranti sangat baik. Dia bukan pengkhianat dalam cerita ini. Fidi pun sama halnya. Dia bukan penjahat cinta pula. Tapi disini satu-satunya yang bersalah adalah aku. Aku yang terlalu menjaga rahasia, aku yang terlalu bodoh telah jatuh cinta, aku yang sangat malang. Ya! AKU!
Sekarang, aku sudah tak berselera untuk mengikuti lomba yang beberapa waktu lalu telah memompa semangat hidupku. Tentunya karena ada dia. Aku lebih sering mengurung diri, bahkan dari Ranti sekalipun. Aku tau dia tak berhak untuk mendapatkan kebencianku tapi tetap saja egoku masih terus saja membuatku membencinya. Aku membencinya karena aku terlalu munafik untuk mengakui sedari awal. Ya disini memang akulah yang salah.
Suatu hari, tepatnya dua minggu setelah aku mengetahui kenyataan pahit itu. Ranti memaksaku untuk bercerita kenapa aku mulai berubah. Seperti biasa, aku berkilah. Dan seperti biasa pula, Ranti tak mudah goyah mendapatkan kepastian. Aku tak bisa berterus terang. Jujur saja. Aku terus berkilah. Akhirnya Rantilah yang memarahi dan memusuhiku. Aku dianggapnya pembohong karena jelas-jelas dia merasa bahwa aku membencinya. “Aku tak bisa menjelaskannya Ranti! Mengertilah!” aku mengucapkannya –dalam hati.
Sejak saat itu aku tak memiliki siapapun. Aku kehilangan kepercayaan sahabatku. Akupun kehilangan harapan pada cinta pertamaku. Hidupku seakan berakhir pada detik-detik menjelang kelulusanku dari SMA yang seharusnya penuh dengan cerita dan kesan yang indah tetapi malah berakhir sebaliknya. Itu semua karena sebuah perasaan yang terjaga sampai saat ini. Perasaan dan ego yang tak pernah mau memaafkan.
_SELESAI_

Garut, 01 Maret 2017

0 komentar:

Posting Komentar