Seperti hari-hari biasanya, aku dan dia bertemu dan
bersama dalam satu ruang kelas bersama 38 manusia lainnya. sekalipun begitu,
aku dan dia tak pernah bercakap. Menyapa hanya sekedar untuk memenuhi norma
kesopanan. Begitu normalnya pertemanan ini berjalan. Tak ada yang istimewa
secara kasat mata antara aku dan dia. Tapi jauh dari yang mereka duga, ada
sesuatu yang aku simpan dalam hati ini untuknya. Sebuah kekaguman yang perlahan
tumbuh menjadi perasaan lain yang entah apa itu namanya. Perasaan yang semakin
hari tak mampu aku kendalikan namun tak mampu juga aku tunjukan. Dan aku hanya
bisa menyebut perasaan ini sebagai “rahasia”.
Kelas masih sepi, hanya ada aku dan beberapa teman yang
sibuk membuka forum gosip pagi ini. Aku memutarkan bola mata ketika teriakan-teriakan
nyaring terdengar saat seorang dari mereka menyuguhkan topik yang menjadi
pembuka forum gosip pagi ini. Hal semacam itu bagi mereka adalah rutinitas
wajib sebelum benar-benar memulai hari. Hampir setiap hari aku menyaksikan
semua ini. Dan aku hanya bisa pura-pura tak peduli.
Aku mengalihkan perhatian pada sosok yang baru saja
datang.
DIA!
Deg!
Hatiku berdesir.
“Hai,
selamat pagi?”
Tak
ada jawaban. Dia berjalan berlalu, Ya memang pantasnya begitu! Sapaku memang
tak bersuara dan hanya mampu tercipta dalam gema hatiku. Selalu saja seperti
ini. Selalu. Entah sampai kapan.
“HALO
TANIAAAAAAAAAAA......” Sapaan pertama pagi ini yang cukup membuat gendang telingaku
berdenging. Ranti, teman sebangku muncul dan berteriak ditelingaku. Kalau saja
dia bukan sahabatku, sudah habis aku jadikan sarapan pagi ini. Menyebalkan!.
“Lo
kenapa sih ran? Sakit tau kuping gue.”
“Lo
yang kenapa? Pagi-pagi udah bengong. Gue dari tadi ibaratnya udah gedor-gedor
pintu, tapi ya memang dasar lo-nya gak denger ya udah sekalian aja gue dobrak
pintu itu. Hahahaha.”
“Uuh..
dasar! Siapa juga yang ngelamun.” Ucapku yang kemudian menghasilkan perdebatan
kecil yang menurutku tak penting. Ranti memang ajaib, dia takkan berhenti
berbicara jika dia merasa belum menemukan jawaban yang memuaskan hatinya.
Seperti sekarang, aku merasa seperti sedang diintrograsi. Tapi akupun tak kalah
hebatnya dalam menyembunyikan sesuatu terutama darinya. Dia takkan mudah
mendapatkan secuil ceritapun dariku. Untuk hal ini, aku memang pandai
bersembunyi.
֍֍֍
Hari ini dia hanya tersenyum padaku, ya hanya itu. Tak
ada suara. Hanya lengkungan disudut bibirnya. Tapi, bagiku itu lebih dari kata
cukup. Aku ‘cukup’ bahagia dibuatnya meskipun sebenarnya letupan harapan itu
kembali aku rasakan secara berlebihan. “Ah, bisakah aku memiliki senyum itu
selamanya?”.
“Tania! Kamu dipanggil bu Anjani” Sebuah suara dari
ambang pintu kelas membuatku kembali pada kenyataan. Dia Risma, anak kelas
lain.
“Ada apa?”
“Gak tau, sebaiknya kamu temui beliau sekarang”
“Oke deh. Makasih ris” Senyumku aku tunjukan padanya dan
aku segera beranjak.
Ruang guru selalu tampak ramai diwaktu istirahat seperti
ini. Di sudut ruangan ada pak Aji yang sedang dikerubuni para siswanya yang
menagih hasil ulangan. Di dekat jendela ada ibu Asri dengan setumpuk LKS dan
kertas ulangan yang harus segera diperiksa. Di dekatnya juga ada pak Andi
sedang bercengkrama ria bersama beberapa guru lain yang sepertinya sudah
terbebas dari belenggu pekerjaan dan sesekali menggoda bu Asri yang nampak
serius menekuni aktifitasnya. Atau beberapa lain yang dengan lahap menyantap
makan siangnya. Dan masih banyak lagi hal khas yang aku saksikan. Aku sendiri
masih berdiri di ambang pintu, mencoba menggambarkan semua ini dalam memoriku.
Lalu sebuah suara kembali menyadarkanku.
“Tania! Kemari nak” itu ibu Anjani. Melambaikan tangan
dari balik meja kerjanya. Aku tersenyum dan segera mengampirinya.
“Tania.. tania. Kamu ini sudah kebiasaan kalau melamun
suka gak tau tempat.” Teguran ibu Anjani membuat aku tersipu, ya aku
menyadarinya. aku tanpa sadar selalu mendapati diriku sedang melamun. Dimana
saja. Dan itu kadang membuat sebagian orang jengkel. Dan terkadang aku juga
merasakan kejengkelan itu sendiri.
“Hehe.. maaf bu saya gak sadar.”
Aku melihat beliau berdecak kecil sambil menggelengkan
kepala.
“Ibu memanggil saya?”
“Oh ya ya! Ibu perlu bicara sama kamu. Ini tentang sebuah
lomba yang akan diadakan di Universitas tempat ibu kuliah dulu. Ini lomba
olimpiade ekonomi dan ibu menawarkan kamu untuk menjadi pesertanya.”
“Hah? Lomba ya bu? Duuh kenapa harus saya bu?”
“Iya itu berdasarkan beberapa pertimbangan dari ibu dan
pak Idan. Guru ekonomi kelas X kamu. Saat ibu rekomendasikan kamu, beliau
setuju. Ibu harap kamu mau tan.”
“Ehm.. selain saya, siapa saja bu?”
“Ibu baru mendapatkan dua nama untuk kelas XI nya.
Rencananya kamu sama Fidi.”
Hah? Fidi? DIA?
Aku berpikir.
Agak lama sebelum akhirnya berkata “Oh gitu ya bu. Baiklah saya mau.” Itu keputusan
tercepat yang pernah aku ambil. Hanya karena mendengar aku dan dia akan bersama
dalam beberapa saat, aku tak mampu mengendalikan logikaku.
“Oke, siip. Kita akan mulai pembekalan minggu depan ya.
Selagi ibu mencari peserta lain, kamu baca-baca buku saja dulu.” Ujar bu
Anjani.
Aku mengangukkan kepala dan tak lupa menyuguhkan sebuah
senyuman penutup sebelum aku beranjak keluar ruangan. Perasaanku tak mampu aku
kendalikan. Yang aku rasakan sekarang adalah BAHAGIA!. Bagaimana tidak, aku
akan mendapatkan kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Berdiskusi dan
sebagainya. Ah dunia memang tak pernah berhenti berputar.
֍֍֍
Setelah hari itu berakhir, aku menjadi lebih bahagia.
Setiap pagi aku tak hanya sekedar duduk menguping para penggosip itu. Aku mulai
banyak membaca. Setiap detiknya aku maknai dengan berbagai harapan. Dia ya dia
yang menjadi salahsatu sumber semangat baruku. Dia yang barusan bertanya
tentang perlombaan ini dan dia yang terlihat bahagia. Entah karena apa. Tapi
terselip harapan bahwa alasan bahagianya adalah diriku. Menjadi patnerku. Tapi
entahlah aku tak ingin menerka terlalu jauh. Bagiku bahagianya adalah bahagia
tak terhingga untukku.
֍֍֍
Hari perlombaan itu tinggal beberapa minggu. Aku harus berusaha keras untuk
menyeimbangkan pengetahuanku dengan para patnerku. Mereka semua orang-orang
hebat. Aku sangat mengakuinya. Seperti sekarang, aku tenggelam dalam bacaanku
di sudut ruangan ini. Duniaku seakan teralihkan kedalam deretan aksara yang
sedang aku baca. Lalu sebuah tangan mendarat dipunggungku dengan begitu
menyebalkannya.
“Taaaan.. tau gak gosip terbaru hari ini??" Tanya Ranti berapi-api.
"Lo
pasti udah tau deh kalau gue bukan tukang gosip!" Aku mendelik kesal
karena merasa terganggu bahkan untuk hal tidak penting seperti ini.
"Ooh iya
lupa, lo kan Miss NO GOSIP itu yaa. Haha. Dasar kuper lu!"
"Oh ya?
Terserah lo aja. Gue sih taunya ngegosip itu dosa."
"Iya deh
iya gak usah dalil gue juga kali!" Nadanya terdengar kesal. Aku pura-pura
tak memperdulikannya. Tapi sepersekian detik kemudian dia kembali bersuara.
“Tapi sumpah
demi apapun gue mau cerita, terserah lo mau dengerin atau enggak yang pasti ini
kabar gembira ra ra raaaaaaa... Taniaaaa..” Sekarang kedua tangannya sibuk
mengguncang-guncangkan bahuku. Aku mendesah pasrah lalu dengan terpaksa
memposisikan diri menghadap si pencerita berisik ini.
“Oke, kalau
sampe ini gak penting, gue makan lo hidup-hidup
ran!” Kataku mengancam. Ranti meringgis lalu bersiap memulai cerita.
“Lo harus
tau.. Jadiiii hari ini gue, sahabat lo yang cantik ini udah resmi berganti
status!!!” Katanya ceria. Aku tidak terkejut. Sedikitpun tidak. Apa yang
penting dari itu?
“Heh! Lo kok
diem aja sih taan..” Rengeknya. Aku segera membetulkan ekspresiku.
“Eh iya maaf,
selamat ya Ranti sayaaaang.. siapa sih cowok buta yang mau diajak jadian sama
lo? Haha” Kataku asal saja sebenarnya.
“Yee.. dasar
sirik ya lo!! Lo pasti bakalan tau deeh, sebentar lagi dia kesini kok. Tiap
hari juga nongkrong disini. Ah lo pasti tau betul siapa dia.”
“Oooh oke,
jadi gimana kronologisnya?”
“Uuuh.. Kepo
juga kan lo! Haha.. oke deh gue kasih tau, sebenernya dia udah lama
pe-de-ka-tein gue. Gue sih lempeng-lempeng aja. Eeh tadi di kelas dia nembak
gue, pake acara bawa bunga. Gue kan jadi melting. Yaudah gue terima aja.”
“Hah?
Sesimpel itu?” Alisku bertaut.
“Emang gue
elo, yang rempongnya minta ampun soal urusan cinta. Gak yaaaa..”
Lagi-lagi aku
hanya bisa menghela nafas, lalu melanjutkan bacaanku sementara Ranti terus
mengoceh disampingku. Ah ya begitulah Ranti, sahabatku yang terkadang berlaku
seenaknya. Bagiku masalah hati adalah hal paling serius. Lalu tiba-tiba suara
Ranti berhenti terganti suara lain yang datang.
“Mau pulang sekarang?”
Suara itu bertanya. Aku mengenal suara itu. Dan aku menoleh untuk memastikan.
FIDI!
Dia mendekati
ranti, dan sepertinya pertanyaan tadi untuknya. Apa maksud semua ini?
Seseorang, tolong jelaskan! Rantii! Aku memandangnya seolah bertanya.
“Taraaa.. ini
dia tan, Fidi! Lo pasti udah tau dooong siapa dia.”
“Hah? Jadi?”
Ranti nyengir
kuda lalu mengaguk dengan semangat. Fidi hanya tersenyum dan mulai
meraih tangan Ranti, sebuah bahasa tubuh untuk segera beranjak.
“Eh! Iya iya
sayang kita berangkat sekarang. Eh Tan, besok aja ya gue ceritanya hhi.”
Aku belum
selesai dengan kekagetanku, tapi Ranti dan Fidi sudah beranjak pergi. Aku
merasa seakan langit runtuh saat itu juga. Retak dan hancur! Bagaimana mungkin?
Ini pasti hanya mimpi. Pasti!
“Plak!”
Aku menampar
wajahku sendiri. Memastikan ini hanya sekedar bunga tidurku. Tapi tidak. Pipiku
merespon, ini sakit. Dan rasa sakit itu meresap sampai ke hatiku. Lama aku
mematung sampai akhirnya aku tersadar dan segera ambruk ke lantai. Segera saja
kristal bening dipelupuk mataku merembes dan aku menangis. Ada suara retak yang
begitu panjang dapat aku dengar. Retak yang berdenyut, dan retak yang
menyakitkan. Dia, Fidi, dan sahabatku! “Tuhan! Ini skenario macam apa?” Aku
menjerit, sejadi-jadinya –dalam hati tentunya. Langit pun menetes siang ini.
Aku merasa ini seperti adegan dalam drama.
Jika Ranti
yang memilikinya, aku bisa apa? Aku tak mungkin menyalahkannya. Ranti sangat
baik. Dia bukan pengkhianat dalam cerita ini. Fidi pun sama halnya. Dia bukan
penjahat cinta pula. Tapi disini satu-satunya yang bersalah adalah aku. Aku
yang terlalu menjaga rahasia, aku yang terlalu bodoh telah jatuh cinta, aku
yang sangat malang. Ya! AKU!
Sekarang, aku
sudah tak berselera untuk mengikuti lomba yang beberapa waktu lalu telah memompa
semangat hidupku. Tentunya karena ada dia. Aku lebih sering mengurung diri,
bahkan dari Ranti sekalipun. Aku tau dia tak berhak untuk mendapatkan
kebencianku tapi tetap saja egoku masih terus saja membuatku membencinya. Aku
membencinya karena aku terlalu munafik untuk mengakui sedari awal. Ya disini
memang akulah yang salah.
Suatu hari,
tepatnya dua minggu setelah aku mengetahui kenyataan pahit itu. Ranti memaksaku
untuk bercerita kenapa aku mulai berubah. Seperti biasa, aku berkilah. Dan
seperti biasa pula, Ranti tak mudah goyah mendapatkan kepastian. Aku tak bisa
berterus terang. Jujur saja. Aku terus berkilah. Akhirnya Rantilah yang
memarahi dan memusuhiku. Aku dianggapnya pembohong karena jelas-jelas dia
merasa bahwa aku membencinya. “Aku tak bisa menjelaskannya Ranti! Mengertilah!”
aku mengucapkannya –dalam hati.
Sejak saat
itu aku tak memiliki siapapun. Aku kehilangan kepercayaan sahabatku. Akupun
kehilangan harapan pada cinta pertamaku. Hidupku seakan berakhir pada
detik-detik menjelang kelulusanku dari SMA yang seharusnya penuh dengan cerita
dan kesan yang indah tetapi malah berakhir sebaliknya. Itu semua karena sebuah
perasaan yang terjaga sampai saat ini. Perasaan dan ego yang tak pernah mau
memaafkan.
_SELESAI_
Garut,
01 Maret 2017
0 komentar:
Posting Komentar